Selasa, 31 Januari 2017

MAKALAH AJARAN TASSAWUF PADA MASA ABAD PERTENGAHAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan tasawuf tidak pernah lepas dari sejarah para nabi terutama Nabi Muhammad,  para Sahabat, para Tabiin dan seterusnya. Nabi Muhammad telah memberikan benih-benih tasawuf yang dapat di jadikan sebagai rujukan dalam segala perbuatanya. Baik sesuatu yang berhubungan dengan perilaku beliau, ucapan-ucapan beliau, dan sifat-sifat beliau. Pada zaman Nabi Muhammad belum muncul istilah tasawuf, namun kegiatan praktek sudah ada sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul. Istilah pada zaman itu sering dikenal dengan “Zuhud”.  Kehidupan yang sama sekali tidak tertarik dengan kemewahan dunia.
Di masa Rasulullah,  gerakan tasawuf belum muncul, hal ini  di karenakan  pada masa itu belum dibutuhkan. Dengan ketaatan para sahabat atas perintah nabi dan mereka selalu menjadikan nabi sebagai contoh. Perilaku mereka tentang hidup kerohanian sangat mengental. Dengan kezuhudanya yang mereka lakukan itu menjadi hal yang paling baik daripada terpengaruh dengan kemewahan dunia. Kehidupan kerohanian mereka juga belum tercampur dengan masalah sosial politik, pemikiran-pemikiran dari bangsa barat, dan sesuatu yang berbau kefilsafatan.
Di masa pertengahanlah tasawuf dari pola pikir manusia dan ulama mulai mengkristal. Tasawuf masa itu sudah menjadi sebuah organisasi yang memiliki aturan, prinsip, dan sistem khusus. Tawasuf mereka langsung menjelma menjadi sebauah thariqah. Perkembangan tasawuf inilah sangat berbeda dengan tasawuf yang dahulu.
B.     Rumusan masalah
1)      Bagaimana Perkembangan Tasawuf  pada Masa Klasik ?
2)      Bagaimana Tahapan Perkembangan Tasawuf  pada Masa Pertengahan?
3)      Bagaimana Praktek dari Perkembangan Tasawuf di Masa Klasik dan Masa Pertengahan ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Bagaimana Perkembangan Tasawuf pada Masa Klasik
Tasawuf paada zaman dahulu dikatakan sebagai kehidupan rohani di karenakan ajaran ini mengandung perjuangan manusia dalam mendapatkan kehidupan yang sempurna di mata  Sang Pencipta. Kerohanian ini berupa ikhtiar manusia dalam mengalahkan gangguan hawa nafsu dan kehidupan kebendaan. Sejarah perkembangan kerohanian itu sendiri secara garis besar dibagi menjadi 2 yakni zuhud dan tasawuf. Istilah ini pada dasarnya belum ada pada zaman Rasulullah SAW dan tidak disebutkan dalam alqur’an, kecuali istilah zuhud.
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘an syai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Zuhud juga tidak dapat dipisahkan dengan 2 keadaan yaitu pertama zuhud dijadikan sebagai bagian  yang tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Kedua zuhud dijadikan sebagai akhlak moral dari sebuah perbuatan dan gerakan protes. Apabila zuhud ini tidak dapat dipisahkan dengan tasawuf , maka fungsi zuhud dalam tasawuf dijadikan sebagai maqam. Namun apabila zuhud dikatakan sebagai moral akhlak, maka fungsi zuhud disini berarti bagainmana upaya kehidupan agar mereka dapat menatap dunia yang fana’ ini. Pandangan dunia menurut mereka hanyalah sekedar tempat beribadah untuk menghantarkan keridhoan kepada Allah semata. Mereka sama sekali tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia ini. Perbedaan pandangan zuhud disini memiliki perbedaan yang sangat kuat yaitu bahwa zuhud yang dikatakan sebagai maqam itu bersifat individual, sedangkan zuhud yanag kedua yang dikatakan sebagai akhlak dan moral itu bersifat individual dan sosial, dan sering  dipergunakan sebagai protes dari penyimpangan sosial. Dalam penamaan zuhud terdapat istilah lain yaitu zahid.
Pada dasarnya seseorang sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi. Kaum zahid lebih mengutamakan hidup kebatinan dan kerohanian dan menjuruskan perhatianya dan kehidupanya kearah Allah.
Dalam permulaan Tarikh Islam, kehidupan zuhud atau asketisme belum lagi merupakan suatu gerakan keagamaan yang meluas, yang diamalkan oleh seluruh masyarakat Islam, akan tetapi ia merupakan kegiatan dan kecendrungan pribadi, mengikuti petunjuk Islam al-Quran dan sunah Nabi. Kegiatan yang sama sekali tidak mementingkan kehidupan di dunia. Mereka hanya ingin mendekatkan diri kepada Allah. Mereka lebih gemar berjihad dijalan Allah dan berdakwah untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap zuhud inilah yang sering dikatakan sebagai ilmu pengantar dari kemunculan ilmu Tasawuf. Tahap awal perkembangan tasawuf itu dimulai pada abad ke 1-H sampai kurang lebih abad ke 2-H. Pada masa nabi belum muncul istilah-istilah, namun praktek ilmu-ilmu cabang sudah ada di masa nabi sebelum diangkat sebagai rasul. Kehidupan Nabi Muhammad SAW, dapat dijadikan sebagai suri tauladan.  Perkembangan tasawuf pada masa klasik itu berkisar pada masa  Nabi Muhammad SAW, para Sahabat (Khulafaur Rasyidin), Tabi’in, masa Bani Umayah, dan masa Bani Abbasiyah.

B.     Tasawuf masa Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhanmmad SAW mempunyai banyak julukan yaitu Pembuka Negeri, Pemimpin Perang, dan Pesuruh Tuhan. Pada masa ini praktek tasawuf sudah dilakukan namun, belum menjadi istilah resmi hanya ada istilah zuhud. Istilah ini sudah dijelasan di atas. Kaum zuhad ini menjadikan Nabi Muhammad sebagai mursyid tertinggi dalam Islam dan mereka beranggapan beliau adalah manusia yang sempurna. Berasal dari tahanuut dan khalwat kehidupan kerohanian beliau yang dilakukan semasa beliau berada didalam Gua Hira. Gambaran perilaku beliau dijadikan sumber bagi para ahli sufi dalam pengalaman ajaran tasawuf. Beliau ber’uzlah dengan menyatukan pikiran dan perasaan dalam merenungi alam dan beliau telah tenggelam dalam kebesaran Allah SWT. Aktifitas uzlah inilah yang banyak diambil pelajaranya, karena penyakit jiwa tidak bisa dihilangkan kecuali dengan ber ‘uzlah. Sifat sombong , ujub, hasud, riya,dan cinta terhadap dunia, merupakan penyakit yang merusak jiwa dan hati nurani, meskipun secara lahiriyah manusia itu terlihat melakukan amalan shaleh. Didalam Gua Hira beliau terus mengingat Allah dan memuja-Nya, sehingga putuslah hubungan beliau dengan makhluk yang lainya. Beliau membersihkan diri dari noda-noda hati yang yang mengotori jiwa. Menurut Ibnu Atha’illah al-Iskandariyah bahwa “tiada lebih berguna bagi hati selain ‘uzlah. Dengan ‘uzlah hati memasuki lapangan tafakkur.” Dengan tafakkur seseorang bisa mendalami sebuah  hakikat arti dari kehidupan, merenungkan allah dengan lebih mengutamakan keridhaan-Nya.
Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang sedemikianlah  Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah SWT yang penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk ummat manusia dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Beliau telah dijadikan sebuah pedoman hukum karena beliau telah menggabungkan kehidupan lahir dengan hidup kerohanian di dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang diajarkan guna memperkuat iman, kebersihan hati, keyakinan dan kekuatan bathin. Kehidupan kerohanian yang lain dari Nabi Muhammad ialah beliau merasa hina di karenakan beliau tidak bangun saat wahyu turun, salah satunya sabda-Nya “ Sesungguhnya  pada kejadian langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam, adalah menjadi ayat yang besar bagi orang  yang yakin” dan  beliau telah menyalahkan diri .
Semua kehidupan Nabi Muhammad selalu dijadikan referensi oleh para sufi, berawal dari pengalaman khalawat di Gua Hira, kebenaran mimpi Nabi Muhammad, masalah wahyu yang turun untuk beliau, pengalaman Isra mi’raj,  masalah misi perdamaian beliau dengan istri-istrinya dan kesederhanaan beliau dalam menyingkapi arti kehidupan. Beliau menjadi kehidupan kerohanian lebih tinggi dibandingkan dengan kemewahan belaka. Beliau mengajak kepada manusia bahwa hidup kemewahan di dunia hanyalah bersifat sementara, oleh karena itu beliau menganjurkan agar manusia itu lebih mendekatkan diri kepada Allah . pendekatan itulah yang dikatakan sebagai kehidupan yang abadi.
C.    Tasawuf  Masa Bani Umayyah
Tasawuf pada masa Bani Umayah sudahlah berbeda dengan hidup kerohanian sebelumnya. Hal ini dikarenakan  hidup kerohanian disini sudah terkontaminasi dengan masalah sosial politik. Apalagi masalah terbunuhnya Utsman bin Affan yang berkepanjangan dengan masa-masa selanjutnya. Oleh karena itu munculah kelompok Bani Umayah, Syiah, Khawarij, dan Murji’ah. Tasawuf  pada masa Bani Umayah dilatar belakangi adanya kemewahan kekuasaan umayah dengan kehidupannya. Pemerintahan ini sangat kejam dengan sekelompok politik yang menentangnya. Puncak kekejaman ini sangat terlihat pada saat adanya perang karbala yang di dalamnya terbunuh  Husen bin Ali bin Abi Thalib. Akhirnya peristiwa ini memberikan pengaruh yang besar tentang sebuah penyesalan. Kelompok disini disebut kelompok tawwabun ( kelompok yang merasa dirinya banyak dosa sehingga selalu bertaubat kepada Allah).
Dalam situasi ini kaum Muslimin yang merasa shaleh, mereka berkewajiban untuk menyerukan kehidupan zuhud, sederhana, tidak di pengaruhi oleh hawa nafsu,dll. Salah satu tokoh tasawuf pada masa ini ialah Abu Dzar al-Ghifari. Beliau yang menerapkan keadilan dalam kehidupan sosial. Kezuhudan beliau adalah beliau hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat tinggal, beliau hidup di latar Masjid Nabawi. Beliau sangat sabar, wara’, dan qana’ah. Disini pula muncul beberapa istilah baru, seperti buka’in (kelompok yang selalu mengucurkan air mata kepedihan), qashshash (pendongeng), nussak(ahli ibadah),’ubbaad(orang-orang yang mengabdikan dirinya semata-mata hanya untuk Tuhannya), rabbaniyyin(ahli keTuhanan). Istilah-istilah ini akan dijelaskan pada tahapan perkembangan tasawuf di masa klasik dan pertengahan.

D.    Tahapan Perkembangan Tasawuf Masa Klasik sampai Masa Pertengahan
1.      Tasawuf Abad Pertama dan Kedua Hijriyah
Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian khusus. Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan dunia, tetapi asketisme ini adalah tidak ada keterikatan nafsu dengan dunia. Istilah yang populer digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan ‘ubbaad. Nussaak merupakan bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat. Sedangkan ‘ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid yakni orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
Pada dasarnya zuhud  adalah  permulaan dari munculnya tasawuf. Di masa ini belum muncul istilah tasawuf  namun prakteknya sudah ada sejak itu, seperti lahirnya hasan bashri yang memperkenalkan  ajaran  Khauf dan Raja’. Rasa takut dan berharap kepada Allah lah yang sering di ajarkan bagi para mursyid terhadap muridnya.
Sedangkan pengamalannya dari kehidupan rohani yaitu dengan mengurangi makan, menjauhkan diri dari keramaian duniawi dan mencela dunia seperti harta, keluarga, dan kedudukan. Abu al- Wafa menyimpulkan zuhud salah satunya yaitu menjauhkan diri dari kehidupan dunia untuk menuju kee kehidupan akherat, dengan melakukan sesuatu yang bersifat sederhana, praktis, dan bertujuan untuk meningkatkan moral.

2.      Tasawuf Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah
Pada abad yang ketiga dan keempat ini, tawasuf mulai mengalami pengembangan . istilah zuhud sudah diganti dengan istilah tasawuf . Bahkan  penamaan tasawuf di sinipun sudah hampir punah. Mereka lebih menggunakan tasawuf dengan istilah sufi. Corak-coraknya pun sudah berbeda sekali dengan yang dulu. Abad ini menggunakan tasawuf yang bersifat kefana’an yang fokus dengan persatuan hamba dan hubunganya dengan sang Khaliq(ittishal). Metode yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqam) serta keadaan (hal), ma’rifat, tauhid, penyatuan atau hulul. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar. Sejak saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti Al-Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga Hijriyah merupakan tasawuf yang mencapai peringkat terjernih dan tertinggi, karena tokoh-tokoh sufi inilah yang kemudian di jadikan panutan para sufi yang hidup setelahnya.
Pemikiran mereka yang sangat cakap dalam bidang  apapun. Maka terkenal pulalah ilmu mereka sebagai ilmu Batin, ilmu Hakikat, ilmu Wiratsah dan ilmu Dirayah. Semua istilah tersebut merupakan kebalikan dari ilmu Lahir, ilmu Syariah, ilmu Dirasah, dan ilmu Riwayah .
Pada abad III dan IV hijriyah, terdapat dua aliran tasawuf, yaitu aliran Tasawuf Sunni. Tasawuf sunni adalah tasawuf yang pokok ajaranya sangat terikat dengan al-Qur’an dan Hadits serta mengkaitkan antara ahwal dengan maqamat mereka terhadap kedua sumber tersebut. Sedangkan yang kedua adalah aliran  tasawuf “semi falsafi”. Para pengikut tasawuf ini cenderung dengana ungkapan-ungkapan yang ganjil(syathahiyat ) serta bertolak dengan keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ( ittihad atau hulul).

3.      Tasawuf Abad Kelima Hijriyah
Aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis , mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya.
Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui keunggulan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada masa ini cenderung melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-Ghazali. Di sini akan dibahas pandangan atau kritik mereka terhadap penyimpangan tasawuf.
Abu Al-Qasim Al-Qusyairi merupakan tokoh yang sangat terkenal pada abad kelima Hijriyah terutama karena karya beliau yang sangat terkenal, al-Risalah al-Qusyairiyyah, yang sangat berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah. Di awal mukadimahnya, Qusyairi melukiskan bahwa saat itu sudah amat langka para sufi sejati. Karena itu, Qusyairi menulis  kitab yang  ia menguraikan konsep-konsep tasawuf, maqamat wal ahwal, kondisi ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri dengan biografi singkat mengenai para tokoh sufi ternama.
Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus Sunnah ialah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad Al-Anshari atau yang lebih dikenal dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai penggagas aliran pembaruan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj .
Karya Al-Harawi yang paling terkenal adalah Manazil al-Sairin ila Rabb al-Alamin. Dalam karya ringkas tersebut, ia memaparkan tingkat-tingkat ruhaniah yang mempunyai awal dan akhir.  Ketingkatan ini menurut al-Qusyairi dianalogikan dengan sebuah bangunan yang didalamnya harus ada pondasinya agar bangunan itu menjadi kokoh .oleh karena itu  tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta mengikuti Sunnah.
Al-Harawi juga dikenal dengan teori fana’ dalam kesatuan, namun fana’nya berbeda dengan fana’ para sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana’ bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri atau dengan kata lain, ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan.
Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka mengeluarkan ungkapan-ungkapan ganjil, maka hatinya tidak bisa tenteram, atau dengan kata lain ungkapan tersebut muncul dari ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, maka akan membuat mereka terhindar dari keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.
Setelah mendalami berbagai ilmu, seperti ilmu Fikih, Kalam, Filsafat dan Tasawuf, maka ia berkeyakinan bahwa jalan sufi adalah jalan terbaik bahkan pada titik ekstremnya.

4.      Tasawuf Abad Keenam Hijriyah
  Tasawuf filosofis merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional filosofis. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokoh-tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan jelas sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad kemudian.
Para pengkaji tasawuf filosofis, berpendapat bahwa perhatian para penganut tasawuf filosofis terutama diarahkan untuk menyusun teori-teori wujud dengan berlandaskan rasa (dzauq), yang merupakan titik tolak tasawuf mereka. Ibn Khaldun memaparkan ada empat karakteristik tasawuf filosofis yaitu
Pertama, latihan ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya.
Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat rabbani, arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat realitas segala wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.  Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syahahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, atau menginterpretasikannya.
Adapun tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Suhrawardi dan Ibn Arabi. Di sini akan dielaborasi sekilas pandangan ketiga tokoh tersebut agar dapat memperjelas konsep tasawuf filosofis yaitu Al-Suhrawardi Al-Maqtul dikenal sebagai Shaykh al-Ishraq, guru filsafat cahaya. Walaupun ia meninggalkan banyak karya, namun karyanya yang paling terkenal dan mengantarkannya dirinya sebagai tokoh tasawuf filosofis adalah Hikmah al-Isyraq. Kitab tersebut menguraikan pandangan-pandangannya tentang filsafat isyraqi atau tasawuf isyraqi (iluminatif),
yang didasarkan pada penalaran yang tersebar dan pemikiran sesuatu tanpa dipahami oleh orang lain, dengan latihan formal terhadap pikiran sekaligus pembersihan jiwa. Garis besar teori Suhrawardi dapat disingkat dalam nukilan berikut:
“Hakikat dari Cahaya Mutlak, Tuhan, memberi terang terus menerus, yang merupakan pengejawantahan dan menyebabkan segala sesuatu ada, memberikan kehidupan kepada segala sesuatu dengan sinarnya. Segalanya di dunia berasal dari Cahaya hakikat-Nya dan segala keindahan dan kesempurnaan adalah karunia dari kemurahan-Nya, dan mencapai terang ini sepenuhnya berarti keselamatan”.
Melalui paparan singkat di atas, sebenarnya dalam doktrin Wahdat al-Wujud, Tuhan betul-betul Esa karena tidak ada wujud hakiki, kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak mempunyai wujud kecuali sejauh berasal dari Tuhan. Alam tidak lebih dari penampakan-Nya. Dengan demikian, doktrin ini hanya mengakui satu wujud atau realitas karena mengakui dua jenis wujud atau realitas yang sama sekali independen berarti memberi tempat kepada syirik atau menyembah tuhan lebih dari satu.

5.      Tasawuf Abad Ketujuh Hijriyah dan Sesudahnya
Periode abad keenam dan ketujuh Hijriyah tidak kalah penting dengan periode-periode sebelumnya. Sebab pada periode ini justru tasawuf telah menjadi semacam filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus; di mana sebelumnya ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam dunia Islam tanpa adanya ikatan satu sama lain. Periode inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah pribadi sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani. Mereka hidup secara kolektif di berbagai zawiah, rabath, dan khanaqah (tempat-tempat latihan), atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, serta mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun ruhaniah yang teratur.
Tarekat secara etimologis berasal dari bahasa Arab, thariqah yang berarti al-khat fi al-syai (garis sesuatu), al-shirat dan al-sabil (jalan). Kata ini juga bermakna al-hal (keadaan). Dalam literatur Barat, menurut Gibb, kata thariqah menjadi tarika yang berarti road (jalan raya), way (cara), dan path (jalan setapak). Hanya saja ada perbedaan antara road dan path. Jika yang pertama merupakan jalan besar yakni syariat, maka yang kedua jalan kecil yakni yang secara khusus ditujukan sebagai tarekat atau perjalanan spiritual. Sedangkan secara praktis, tarekat dapat dipahami sebagai sebuah pengamalan keagamaan yang bersifat esoterik (penghayatan), yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan menggunakan amalan-amalan berbentuk wirid dan zikir yang diyakini memiliki mata rantai secara sambung menyambung dari guru mursyid ke guru mursyid. lainnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw, dan bahkan sampai Jibril dan Allah. Mata rantai ini dikenal di kalangan tarekat dengan nama silsilah (transmisi). Dalam tataran ini, tarekat menjadi sebuah organisasi ketasawufan.
Secara lebih luasnya, dalam dunia sufistik menurut Schimmel, tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’ sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap Muslim. Tidak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal; pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu secara seksama, akan tetapi tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit dijalani serta membawa santri (salik) dalam suluk atau pengembaraannya melalui berbagai persinggahan (maqam), sampai mungkin cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna; yaitu pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.
Sebagai organisasi tasawuf atau metode spiritual yang praktis, tarekat memiliki metode yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan program penyucian jiwa, zikir, tafakur, meditasi, mendengar musik dan menari, qiyamul lail dan lain-lain. Tetapi tujuan mereka semuanya sama yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah semata (taqarrub ila Allah).



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kehidupan kerohanian pada masa klasik dengan masa pertengahan sangat berbeda. Bersamaan dengan  muncul beberapa pendapat tentang  penamaan kata “Tasawuf ”. Sumber-sumber ajaran tasawuf  mereka juga masih di perdebatkan. Dari masa ke masa tasawuf mengalami perkembangan dalam ajaranya, begitu juga para tokoh dalam  mengajarkan pemahaman kepada para pengikutnya. Tahapan tasawuf  itulah yang dapat membedakan antara tasawuf yang murni dengan tasawuf  yang sudah tercampur dengan ajaran yang lain.
Hidup kerohanian yang sangat terkenal apalagi di setiap tokoh mempunyai sikap kezuhudanya masing-masing.  Kezuhudan mereka yang membuat kehidupan mereka lebih berarti dengan hadirnya allah dalam benaknya. Ajaran yang  tidak pernah hilang dari tasawuf adalah kewara’anya, sabar, dan qanaah. Harta, pakaian, kebutuhan sehari-hari, keluarga, dan kekuasaan bukanlah hal yang dijadikan sebagai penghalang mereka untuk tetap mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Nabi, Sahabat dan para Tabi’in di jadikan sebagai penelitian para shufi dalam masalah tasawuf di masa klasik. Sedangkan para tokoh yang lain, seperti imam ghazali, ibn ata’illah dan para tokoh yang muncul pada abad  pertengahan (1250 H-1700 H), ajaran tasawufnya  yang sudah tercampur dengan ilmu filsafat dan kehidupan zuhud yang ekstrim.
Oleh karena itu, sejarah perkembangan tasawuf  itu meliputi masa pembentukan(abad 1-2 H), masa pengembangan(abad 3-4 H), masa konsolidasi(abad 5 H), masa falsafi(abad 6 H) , dan  masa pemurnian(abad 7 H dan seterusnya).
B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan krtik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

HAMKA. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1981
Khoiri,Alwan. Akhlak dan Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005
Rohim,abdur. Bahan Ajar Akhlak. Mojokerto: CV.Sinar Mulia. 2008
Syukur,Amin. Menggugat Tasawuf  Sufisme dan Tanggung jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999
Syukur,Amin. Zuhud di Abad Modern.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997

Zahri,Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf. Surabaya: PT.Bina Ilmu. 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar