BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan tasawuf tidak pernah lepas dari
sejarah para nabi terutama Nabi Muhammad,
para Sahabat, para Tabiin dan seterusnya. Nabi Muhammad telah memberikan
benih-benih tasawuf yang dapat di jadikan sebagai rujukan dalam segala
perbuatanya. Baik sesuatu yang berhubungan dengan perilaku beliau,
ucapan-ucapan beliau, dan sifat-sifat beliau. Pada zaman Nabi Muhammad belum
muncul istilah tasawuf, namun kegiatan praktek sudah ada sebelum Nabi Muhammad
diangkat sebagai rasul. Istilah pada zaman itu sering dikenal dengan
“Zuhud”. Kehidupan yang sama sekali
tidak tertarik dengan kemewahan dunia.
Di masa Rasulullah, gerakan tasawuf belum muncul, hal ini di karenakan
pada masa itu belum dibutuhkan. Dengan ketaatan para sahabat atas
perintah nabi dan mereka selalu menjadikan nabi sebagai contoh. Perilaku mereka
tentang hidup kerohanian sangat mengental. Dengan kezuhudanya yang mereka
lakukan itu menjadi hal yang paling baik daripada terpengaruh dengan kemewahan
dunia. Kehidupan kerohanian mereka juga belum tercampur dengan masalah sosial
politik, pemikiran-pemikiran dari bangsa barat, dan sesuatu yang berbau
kefilsafatan.
Di masa pertengahanlah tasawuf dari pola
pikir manusia dan ulama mulai mengkristal. Tasawuf masa itu sudah menjadi
sebuah organisasi yang memiliki aturan, prinsip, dan sistem khusus. Tawasuf
mereka langsung menjelma menjadi sebauah thariqah. Perkembangan tasawuf inilah
sangat berbeda dengan tasawuf yang dahulu.
B. Rumusan
masalah
1) Bagaimana Perkembangan
Tasawuf pada Masa Klasik ?
2) Bagaimana Tahapan Perkembangan
Tasawuf pada Masa Pertengahan?
3) Bagaimana Praktek dari
Perkembangan Tasawuf di Masa Klasik dan Masa Pertengahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bagaimana
Perkembangan Tasawuf pada Masa Klasik
Tasawuf paada zaman dahulu dikatakan sebagai
kehidupan rohani di karenakan ajaran ini mengandung perjuangan manusia dalam
mendapatkan kehidupan yang sempurna di mata
Sang Pencipta. Kerohanian ini berupa ikhtiar manusia dalam mengalahkan gangguan
hawa nafsu dan kehidupan kebendaan. Sejarah perkembangan kerohanian itu sendiri
secara garis besar dibagi menjadi 2 yakni zuhud dan tasawuf. Istilah ini pada
dasarnya belum ada pada zaman Rasulullah SAW dan tidak disebutkan dalam
alqur’an, kecuali istilah zuhud.
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘an
syai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan
meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan
dunia untuk ibadah. Zuhud juga tidak dapat dipisahkan dengan 2 keadaan yaitu
pertama zuhud dijadikan sebagai bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Kedua zuhud dijadikan sebagai
akhlak moral dari sebuah perbuatan dan gerakan protes. Apabila zuhud ini tidak
dapat dipisahkan dengan tasawuf , maka fungsi zuhud dalam tasawuf dijadikan
sebagai maqam. Namun apabila zuhud dikatakan sebagai moral akhlak, maka fungsi
zuhud disini berarti bagainmana upaya kehidupan agar mereka dapat menatap dunia
yang fana’ ini. Pandangan dunia menurut mereka hanyalah sekedar tempat
beribadah untuk menghantarkan keridhoan kepada Allah semata. Mereka sama sekali
tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia ini. Perbedaan pandangan zuhud disini
memiliki perbedaan yang sangat kuat yaitu bahwa zuhud yang dikatakan sebagai
maqam itu bersifat individual, sedangkan zuhud yanag kedua yang dikatakan
sebagai akhlak dan moral itu bersifat individual dan sosial, dan sering dipergunakan sebagai protes dari penyimpangan
sosial. Dalam penamaan zuhud terdapat istilah lain yaitu zahid.
Pada dasarnya seseorang sebelum menjadi sufi,
seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid,
barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid,
tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi. Kaum zahid lebih
mengutamakan hidup kebatinan dan kerohanian dan menjuruskan perhatianya dan
kehidupanya kearah Allah.
Dalam permulaan Tarikh Islam, kehidupan zuhud
atau asketisme belum lagi merupakan suatu gerakan keagamaan yang meluas, yang
diamalkan oleh seluruh masyarakat Islam, akan tetapi ia merupakan kegiatan dan
kecendrungan pribadi, mengikuti petunjuk Islam al-Quran dan sunah Nabi.
Kegiatan yang sama sekali tidak mementingkan kehidupan di dunia. Mereka hanya
ingin mendekatkan diri kepada Allah. Mereka lebih gemar berjihad dijalan Allah
dan berdakwah untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap zuhud inilah yang sering
dikatakan sebagai ilmu pengantar dari kemunculan ilmu Tasawuf. Tahap awal
perkembangan tasawuf itu dimulai pada abad ke 1-H sampai kurang lebih abad ke
2-H. Pada masa nabi belum muncul istilah-istilah, namun praktek ilmu-ilmu
cabang sudah ada di masa nabi sebelum diangkat sebagai rasul. Kehidupan Nabi
Muhammad SAW, dapat dijadikan sebagai suri tauladan. Perkembangan tasawuf pada masa klasik itu berkisar
pada masa Nabi Muhammad SAW, para
Sahabat (Khulafaur Rasyidin), Tabi’in, masa Bani Umayah, dan masa Bani
Abbasiyah.
B. Tasawuf
masa Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhanmmad SAW mempunyai banyak julukan
yaitu Pembuka Negeri, Pemimpin Perang, dan Pesuruh Tuhan. Pada masa ini praktek
tasawuf sudah dilakukan namun, belum menjadi istilah resmi hanya ada istilah
zuhud. Istilah ini sudah dijelasan di atas. Kaum zuhad ini menjadikan Nabi
Muhammad sebagai mursyid tertinggi dalam Islam dan mereka beranggapan beliau adalah
manusia yang sempurna. Berasal dari tahanuut dan khalwat kehidupan kerohanian
beliau yang dilakukan semasa beliau berada didalam Gua Hira. Gambaran perilaku
beliau dijadikan sumber bagi para ahli sufi dalam pengalaman ajaran tasawuf.
Beliau ber’uzlah dengan menyatukan pikiran dan perasaan dalam merenungi alam
dan beliau telah tenggelam dalam kebesaran Allah SWT. Aktifitas uzlah inilah
yang banyak diambil pelajaranya, karena penyakit jiwa tidak bisa dihilangkan
kecuali dengan ber ‘uzlah. Sifat sombong , ujub, hasud, riya,dan cinta terhadap
dunia, merupakan penyakit yang merusak jiwa dan hati nurani, meskipun secara
lahiriyah manusia itu terlihat melakukan amalan shaleh. Didalam Gua Hira beliau
terus mengingat Allah dan memuja-Nya, sehingga putuslah hubungan beliau dengan
makhluk yang lainya. Beliau membersihkan diri dari noda-noda hati yang yang
mengotori jiwa. Menurut Ibnu Atha’illah al-Iskandariyah bahwa “tiada lebih
berguna bagi hati selain ‘uzlah. Dengan ‘uzlah hati memasuki lapangan
tafakkur.” Dengan tafakkur seseorang bisa mendalami sebuah hakikat arti dari kehidupan, merenungkan
allah dengan lebih mengutamakan keridhaan-Nya.
Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad
SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh
liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh petunjuk
dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang
dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang sedemikianlah Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah SWT
yang penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk
ummat manusia dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Beliau telah
dijadikan sebuah pedoman hukum karena beliau telah menggabungkan kehidupan
lahir dengan hidup kerohanian di dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang
diajarkan guna memperkuat iman, kebersihan hati, keyakinan dan kekuatan bathin.
Kehidupan kerohanian yang lain dari Nabi Muhammad ialah beliau merasa hina di
karenakan beliau tidak bangun saat wahyu turun, salah satunya sabda-Nya “
Sesungguhnya pada kejadian langit dan
bumi, dan pergantian siang dan malam, adalah menjadi ayat yang besar bagi
orang yang yakin” dan beliau telah menyalahkan diri .
Semua kehidupan Nabi Muhammad selalu
dijadikan referensi oleh para sufi, berawal dari pengalaman khalawat di Gua
Hira, kebenaran mimpi Nabi Muhammad, masalah wahyu yang turun untuk beliau,
pengalaman Isra mi’raj, masalah misi
perdamaian beliau dengan istri-istrinya dan kesederhanaan beliau dalam menyingkapi
arti kehidupan. Beliau menjadi kehidupan kerohanian lebih tinggi dibandingkan
dengan kemewahan belaka. Beliau mengajak kepada manusia bahwa hidup kemewahan
di dunia hanyalah bersifat sementara, oleh karena itu beliau menganjurkan agar
manusia itu lebih mendekatkan diri kepada Allah . pendekatan itulah yang
dikatakan sebagai kehidupan yang abadi.
C. Tasawuf Masa Bani Umayyah
Tasawuf pada masa Bani Umayah sudahlah
berbeda dengan hidup kerohanian sebelumnya. Hal ini dikarenakan hidup kerohanian disini sudah terkontaminasi
dengan masalah sosial politik. Apalagi masalah terbunuhnya Utsman bin Affan
yang berkepanjangan dengan masa-masa selanjutnya. Oleh karena itu munculah
kelompok Bani Umayah, Syiah, Khawarij, dan Murji’ah. Tasawuf pada masa Bani Umayah dilatar belakangi
adanya kemewahan kekuasaan umayah dengan kehidupannya. Pemerintahan ini sangat
kejam dengan sekelompok politik yang menentangnya. Puncak kekejaman ini sangat
terlihat pada saat adanya perang karbala yang di dalamnya terbunuh Husen bin Ali bin Abi Thalib. Akhirnya
peristiwa ini memberikan pengaruh yang besar tentang sebuah penyesalan.
Kelompok disini disebut kelompok tawwabun ( kelompok yang merasa dirinya banyak
dosa sehingga selalu bertaubat kepada Allah).
Dalam situasi ini kaum Muslimin yang merasa
shaleh, mereka berkewajiban untuk menyerukan kehidupan zuhud, sederhana, tidak
di pengaruhi oleh hawa nafsu,dll. Salah satu tokoh tasawuf pada masa ini ialah
Abu Dzar al-Ghifari. Beliau yang menerapkan keadilan dalam kehidupan sosial.
Kezuhudan beliau adalah beliau hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat
tinggal, beliau hidup di latar Masjid Nabawi. Beliau sangat sabar, wara’, dan
qana’ah. Disini pula muncul beberapa istilah baru, seperti buka’in (kelompok
yang selalu mengucurkan air mata kepedihan), qashshash (pendongeng),
nussak(ahli ibadah),’ubbaad(orang-orang yang mengabdikan dirinya semata-mata
hanya untuk Tuhannya), rabbaniyyin(ahli keTuhanan). Istilah-istilah ini akan
dijelaskan pada tahapan perkembangan tasawuf di masa klasik dan pertengahan.
D. Tahapan
Perkembangan Tasawuf Masa Klasik sampai Masa Pertengahan
1. Tasawuf Abad Pertama dan Kedua
Hijriyah
Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau
asketisime merupakan fase yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama
dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian khusus.
Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan dunia, tetapi
asketisme ini adalah tidak ada keterikatan nafsu dengan dunia. Istilah yang
populer digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan ‘ubbaad.
Nussaak merupakan bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah
menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah
bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta
benda dan pangkat. Sedangkan ‘ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid yakni
orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
Pada dasarnya zuhud adalah
permulaan dari munculnya tasawuf. Di masa ini belum muncul istilah
tasawuf namun prakteknya sudah ada sejak
itu, seperti lahirnya hasan bashri yang memperkenalkan ajaran
Khauf dan Raja’. Rasa takut dan berharap kepada Allah lah yang sering di
ajarkan bagi para mursyid terhadap muridnya.
Sedangkan pengamalannya dari kehidupan rohani
yaitu dengan mengurangi makan, menjauhkan diri dari keramaian duniawi dan
mencela dunia seperti harta, keluarga, dan kedudukan. Abu al- Wafa menyimpulkan
zuhud salah satunya yaitu menjauhkan diri dari kehidupan dunia untuk menuju kee
kehidupan akherat, dengan melakukan sesuatu yang bersifat sederhana, praktis,
dan bertujuan untuk meningkatkan moral.
2. Tasawuf Abad Ketiga dan Keempat
Hijriyah
Pada abad yang ketiga dan keempat ini,
tawasuf mulai mengalami pengembangan . istilah zuhud sudah diganti dengan istilah
tasawuf . Bahkan penamaan tasawuf di
sinipun sudah hampir punah. Mereka lebih menggunakan tasawuf dengan istilah
sufi. Corak-coraknya pun sudah berbeda sekali dengan yang dulu. Abad ini
menggunakan tasawuf yang bersifat kefana’an yang fokus dengan persatuan hamba
dan hubunganya dengan sang Khaliq(ittishal). Metode yang dikenal dengan istilah
tingkatan (maqam) serta keadaan (hal), ma’rifat, tauhid, penyatuan atau hulul.
Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka dan mempunyai
bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam kalangan mereka sendiri, yang
asing bagi kalangan luar. Sejak saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf,
dengan para pengarang seperti Al-Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H),
Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga dapat
dikatakan bahwa abad ketiga Hijriyah merupakan tasawuf yang mencapai peringkat
terjernih dan tertinggi, karena tokoh-tokoh sufi inilah yang kemudian di
jadikan panutan para sufi yang hidup setelahnya.
Pemikiran mereka yang sangat cakap dalam
bidang apapun. Maka terkenal pulalah
ilmu mereka sebagai ilmu Batin, ilmu Hakikat, ilmu Wiratsah dan ilmu Dirayah.
Semua istilah tersebut merupakan kebalikan dari ilmu Lahir, ilmu Syariah, ilmu
Dirasah, dan ilmu Riwayah .
Pada abad III dan IV hijriyah, terdapat dua
aliran tasawuf, yaitu aliran Tasawuf Sunni. Tasawuf sunni adalah tasawuf yang
pokok ajaranya sangat terikat dengan al-Qur’an dan Hadits serta mengkaitkan
antara ahwal dengan maqamat mereka terhadap kedua sumber tersebut. Sedangkan
yang kedua adalah aliran tasawuf “semi
falsafi”. Para pengikut tasawuf ini cenderung dengana ungkapan-ungkapan yang
ganjil(syathahiyat ) serta bertolak dengan keadaan fana’ menuju pernyataan tentang
terjadinya penyatuan ( ittihad atau hulul).
3. Tasawuf Abad Kelima Hijriyah
Aliran tasawuf moderat atau sunni terus
tumbuh dan berkembang pada abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang
bercorak semi-filosofis , mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam
bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam
Hijriyah dan setelahnya.
Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima
Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah
wal Jama’ah melalui keunggulan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari atas aliran-aliran
lainnya. Tasawuf pada masa ini cenderung melakukan pembaruan dengan
mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang
sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-Ghazali. Di sini akan
dibahas pandangan atau kritik mereka terhadap penyimpangan tasawuf.
Abu Al-Qasim Al-Qusyairi merupakan tokoh yang
sangat terkenal pada abad kelima Hijriyah terutama karena karya beliau yang
sangat terkenal, al-Risalah al-Qusyairiyyah, yang sangat berpedoman pada
Al-Quran dan Sunnah. Di awal mukadimahnya, Qusyairi melukiskan bahwa saat itu
sudah amat langka para sufi sejati. Karena itu, Qusyairi menulis kitab yang
ia menguraikan konsep-konsep tasawuf, maqamat wal ahwal, kondisi
ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri dengan biografi singkat mengenai
para tokoh sufi ternama.
Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan
doktrin Ahlus Sunnah ialah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad Al-Anshari atau
yang lebih dikenal dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai penggagas aliran pembaruan
dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan
ungkapan-ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj .
Karya Al-Harawi yang paling terkenal adalah
Manazil al-Sairin ila Rabb al-Alamin. Dalam karya ringkas tersebut, ia memaparkan
tingkat-tingkat ruhaniah yang mempunyai awal dan akhir. Ketingkatan ini menurut al-Qusyairi
dianalogikan dengan sebuah bangunan yang didalamnya harus ada pondasinya agar
bangunan itu menjadi kokoh .oleh karena itu
tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta
mengikuti Sunnah.
Al-Harawi juga dikenal dengan teori fana’
dalam kesatuan, namun fana’nya berbeda dengan fana’ para sufi semi falsafi
sebelumnya. Baginya fana’ bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi
dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri atau dengan kata lain,
ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan.
Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka
mengeluarkan ungkapan-ungkapan ganjil, maka hatinya tidak bisa tenteram, atau
dengan kata lain ungkapan tersebut muncul dari ketidaktenangan. Sebab apabila
ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, maka akan membuat mereka terhindar
dari keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.
Setelah mendalami berbagai ilmu, seperti ilmu Fikih,
Kalam, Filsafat dan Tasawuf, maka ia berkeyakinan bahwa jalan sufi adalah jalan
terbaik bahkan pada titik ekstremnya.
4. Tasawuf Abad Keenam Hijriyah
Tasawuf filosofis
merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara pencapaian pencerahan
mistikal dan pemaparan secara rasional filosofis. Terminologi filosofis
tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi
para tokoh-tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan jelas sejak abad
keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad kemudian.
Para pengkaji tasawuf filosofis, berpendapat
bahwa perhatian para penganut tasawuf filosofis terutama diarahkan untuk
menyusun teori-teori wujud dengan berlandaskan rasa (dzauq), yang merupakan
titik tolak tasawuf mereka. Ibn Khaldun memaparkan ada empat karakteristik
tasawuf filosofis yaitu
Pertama, latihan ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta
introspeksi diri yang timbul darinya.
Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap
dari alam gaib, misalnya sifat-sifat rabbani, arsy, kursi, malaikat, wahyu,
kenabian, ruh, hakikat realitas segala wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan
susunan kosmos, terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang
berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang
pengertiannya sepintas samar-samar (syahahiyyat), yang dalam hal ini telah
melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, atau
menginterpretasikannya.
Adapun tokoh-tokohnya yang sangat terkenal
yaitu Al-Suhrawardi dan Ibn Arabi. Di sini akan dielaborasi sekilas pandangan
ketiga tokoh tersebut agar dapat memperjelas konsep tasawuf filosofis yaitu
Al-Suhrawardi Al-Maqtul dikenal sebagai Shaykh al-Ishraq, guru filsafat cahaya.
Walaupun ia meninggalkan banyak karya, namun karyanya yang paling terkenal dan
mengantarkannya dirinya sebagai tokoh tasawuf filosofis adalah Hikmah
al-Isyraq. Kitab tersebut menguraikan pandangan-pandangannya tentang filsafat
isyraqi atau tasawuf isyraqi (iluminatif),
yang didasarkan pada penalaran yang tersebar
dan pemikiran sesuatu tanpa dipahami oleh orang lain, dengan latihan formal
terhadap pikiran sekaligus pembersihan jiwa. Garis besar teori Suhrawardi dapat
disingkat dalam nukilan berikut:
“Hakikat dari Cahaya Mutlak, Tuhan, memberi
terang terus menerus, yang merupakan pengejawantahan dan menyebabkan segala
sesuatu ada, memberikan kehidupan kepada segala sesuatu dengan sinarnya.
Segalanya di dunia berasal dari Cahaya hakikat-Nya dan segala keindahan dan
kesempurnaan adalah karunia dari kemurahan-Nya, dan mencapai terang ini
sepenuhnya berarti keselamatan”.
Melalui paparan singkat di atas, sebenarnya
dalam doktrin Wahdat al-Wujud, Tuhan betul-betul Esa karena tidak ada wujud
hakiki, kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak mempunyai wujud
kecuali sejauh berasal dari Tuhan. Alam tidak lebih dari penampakan-Nya. Dengan
demikian, doktrin ini hanya mengakui satu wujud atau realitas karena mengakui
dua jenis wujud atau realitas yang sama sekali independen berarti memberi
tempat kepada syirik atau menyembah tuhan lebih dari satu.
5. Tasawuf Abad Ketujuh Hijriyah dan
Sesudahnya
Periode abad keenam dan ketujuh Hijriyah
tidak kalah penting dengan periode-periode sebelumnya. Sebab pada periode ini
justru tasawuf telah menjadi semacam filsafat hidup bagi sebagian besar
masyarakat Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem
khusus; di mana sebelumnya ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan
pribadi-pribadi dalam dunia Islam tanpa adanya ikatan satu sama lain. Periode
inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah pribadi
sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah
aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani. Mereka hidup secara kolektif di
berbagai zawiah, rabath, dan khanaqah (tempat-tempat latihan), atau berkumpul
secara periodik dalam acara-acara tertentu, serta mengadakan berbagai pertemuan
ilmiah maupun ruhaniah yang teratur.
Tarekat secara etimologis berasal dari bahasa
Arab, thariqah yang berarti al-khat fi al-syai (garis sesuatu), al-shirat dan
al-sabil (jalan). Kata ini juga bermakna al-hal (keadaan). Dalam literatur
Barat, menurut Gibb, kata thariqah menjadi tarika yang berarti road (jalan
raya), way (cara), dan path (jalan setapak). Hanya saja ada perbedaan antara
road dan path. Jika yang pertama merupakan jalan besar yakni syariat, maka yang
kedua jalan kecil yakni yang secara khusus ditujukan sebagai tarekat atau
perjalanan spiritual. Sedangkan secara praktis, tarekat dapat dipahami sebagai
sebuah pengamalan keagamaan yang bersifat esoterik (penghayatan), yang
dilakukan oleh seorang Muslim dengan menggunakan amalan-amalan berbentuk wirid
dan zikir yang diyakini memiliki mata rantai secara sambung menyambung dari guru
mursyid ke guru mursyid. lainnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw, dan bahkan
sampai Jibril dan Allah. Mata rantai ini dikenal di kalangan tarekat dengan
nama silsilah (transmisi). Dalam tataran ini, tarekat menjadi sebuah organisasi
ketasawufan.
Secara lebih luasnya, dalam dunia sufistik
menurut Schimmel, tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi, dan digambarkan
sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’
sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut
anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang
terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap Muslim. Tidak mungkin ada
jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal; pengalaman mistik tak
mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih
dahulu secara seksama, akan tetapi tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih
sulit dijalani serta membawa santri (salik) dalam suluk atau pengembaraannya
melalui berbagai persinggahan (maqam), sampai mungkin cepat atau lambat
akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna; yaitu pengakuan
berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.
Sebagai organisasi tasawuf atau metode
spiritual yang praktis, tarekat memiliki metode yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lain. Ada yang menggunakan program penyucian jiwa, zikir, tafakur,
meditasi, mendengar musik dan menari, qiyamul lail dan lain-lain. Tetapi tujuan
mereka semuanya sama yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah semata (taqarrub
ila Allah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehidupan kerohanian pada masa klasik dengan
masa pertengahan sangat berbeda. Bersamaan dengan muncul beberapa pendapat tentang penamaan kata “Tasawuf ”. Sumber-sumber
ajaran tasawuf mereka juga masih di perdebatkan.
Dari masa ke masa tasawuf mengalami perkembangan dalam ajaranya, begitu juga
para tokoh dalam mengajarkan pemahaman
kepada para pengikutnya. Tahapan tasawuf
itulah yang dapat membedakan antara tasawuf yang murni dengan
tasawuf yang sudah tercampur dengan
ajaran yang lain.
Hidup kerohanian yang sangat terkenal apalagi
di setiap tokoh mempunyai sikap kezuhudanya masing-masing. Kezuhudan mereka yang membuat kehidupan
mereka lebih berarti dengan hadirnya allah dalam benaknya. Ajaran yang tidak pernah hilang dari tasawuf adalah
kewara’anya, sabar, dan qanaah. Harta, pakaian, kebutuhan sehari-hari,
keluarga, dan kekuasaan bukanlah hal yang dijadikan sebagai penghalang mereka
untuk tetap mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Nabi, Sahabat dan para Tabi’in di jadikan sebagai
penelitian para shufi dalam masalah tasawuf di masa klasik. Sedangkan para
tokoh yang lain, seperti imam ghazali, ibn ata’illah dan para tokoh yang muncul
pada abad pertengahan (1250 H-1700 H),
ajaran tasawufnya yang sudah tercampur
dengan ilmu filsafat dan kehidupan zuhud yang ekstrim.
Oleh karena itu, sejarah perkembangan
tasawuf itu meliputi masa
pembentukan(abad 1-2 H), masa pengembangan(abad 3-4 H), masa konsolidasi(abad 5
H), masa falsafi(abad 6 H) , dan masa
pemurnian(abad 7 H dan seterusnya).
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu
penulis mengharapkan krtik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah
ini di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
HAMKA. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta:
Yayasan Nurul Islam. 1981
Khoiri,Alwan. Akhlak dan Tasawuf. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005
Rohim,abdur. Bahan Ajar Akhlak. Mojokerto: CV.Sinar
Mulia. 2008
Syukur,Amin. Menggugat Tasawuf Sufisme dan Tanggung jawab Sosial Abad 21.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999
Syukur,Amin. Zuhud di Abad Modern.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 1997
Zahri,Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf. Surabaya:
PT.Bina Ilmu. 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar