BAB
I
A. Latar Belakang
Melakukan kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rezeki,
dan dengan rezeki itu dia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang Islam, al-Qur’an adalah petunjuk untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang absolut. Sunnah Rasulullah saw berfungsi
menjelaskan kandungan al-Qur’an.[1]Terdapat
banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang merangsang manusia untuk rajin
bekerja dan mencela orang menjadi pemalas.Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi
dibenarkan oleh al-Qur’an. Apabila kegiatan itu memiliki watak yang merugikan
banayak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang, seperti monopoli, calo,
perjudian dan riba, pasti akan ditolak.
Riba sebagai persoalan pokok dalam makalah ini,
disebutkan dalam Al-Qur’an dibeberapa tempat secara berkelompok.Dari ayat-ayat
tersebut para ‘ulama’ membuat rumusan riba, dan dari rumusan itu kegiatan
ekonomi diidentifikasi dapat dimasukkan kedalam kategori riba atau tidak. Dalam
menetapkan hukum, para ‘ulama’ biasanya mengambil langkah yang dalam Ushul Fiqh
dikenal dengan ta’lil (mencari ‘illat). Hukum suatu peristiwa
atau keadaan itu sama dengan hukum peristiwa atau keadaan lain yang disebut
oleh nash apabila sama ‘illat-nya.[2]
Kendati
riba dalam Al-Qur’an dan hadis secara tegas dihukumi haram, tetapi karena tidak
diberikan batasan yang jelas, sementara masalah ini sangat dekat dengan
aktivitas ekonomi masyarakat sejak dulu hingga kini, hal ini menimbulkan
beragam interpretasi terhadapnya. Sejak masa awal, persoalan riba telah
dipandang sebagai salah satu permasalah agama yang paling pelik. Sampai-sampai
Umar ibn Khattab dikabarkan menyatakan : “Ada tiga perkara yang sangat aku
sukai seandainya Rasulullah meninggalkan wasiat untuk kita, yakni persoalan
pewarisan kakek (datuk), kalâlah, dan persoalan riba,
sayangRasulullah telah meninggal sebelum beliau menerangkannya. Oleh karena
itu, tinggalkanlah ribâ dan ribah (hal-hal yang meragukan).”
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Landasan
Syar’i
a.
Pengertian
Secara
etimologis (bahasa), riba berarti tambahan (ziyâdah)
atau berarti tumbuh dan membesar.[3]Adapun
menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu,
tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat
menerimanya.Adapun menurut istilah syariat para fuqahâ sangat beragam dalam mendefinisikannya,
diantaranya aitu :
1. Menurut
Al-Mali riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak
diketahui tmbangannya menurut ukuran syara’ ketika berakad atau dengan
mengakhirkan tukarana kedua belah pihak atau salah satu keduanya.
2. Menurut
Abdurrahman Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi
dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan
syara’ atau terlambat salah satunya.
3. Syaikh
Muhammad Abduh berendapat riba adalah penambahan-penambahan yang disayaratkan
oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Dalam Al-Qur’an dan hadits disebutkan :
A
Artinya
: “Kemudian apabila kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah.”[4]Maknanya
disini adalah bergerak untuk tumbuh dan berkembang.
اَلذَّ هَبُ بِا لذَّ هَبِ وَ زْ نًا
بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَاْلفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ
مِثْلاًبِمِثْلٍ فَمَنْ زَا دَ أَوْ
اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
Artinya:
Rasulullah saw. bersabda: “Emas dengan
emas sama timbangan dan ukurannya, perak dengan perak sama timbangan dan
ukurannya. Barang siapa yang meminta tambah maka termasuk riba.”[5]
Dari
hadits tersebut dapat dipahami bahwa apabila tukar-menukar emas atau perak maka
harus sama ukuran dan timbangannya, jika tidak sama maka termasuk riba. Dari
situ dapat dipahami bahwa riba adalah ziyâdah atau tambahan.
Akan tetapi tidak semua tambahan adalah riba.Dalam istilah fiqh, riba
adalah pengambilan tambahan dari harta pokok secara bathil baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam meminjam.
b.
Pandangan
Para Pakar Mengenai Riba
parapakarekonomimemahamilebihbanyaklagibahayaribamengikutiperkembanganpraktik-praktikekonomi.
Di antaranyaadalah: buruknyadistribusikekayaan, kehancuransumber-sumberekonomi,
lemahnyaperkembanganekonomi, pengangguran, dan lain-lain.
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram[6]
dan termasuk dosa besar. Keadaan seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah
rahimahullahu sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar
selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”Kesepakatan
ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan
atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal).
Keharaman riba jenis pertama al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus,
berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[7]
Secara garis besar pandangan tentang hukum riba ada
dua kelompok, yaitu:
1.
Kelompok pertama
mengharamkan riba yang berlipat ganda/ad’âfan mudhâ’afa, karena yang diharamkan al-Qur’an adalah
riba yang berlipat ganda saja, yakni riba nas’ah, terbukti juga dengan hadis tidak ada riba kecuali nasî’ah. Karenanya, selain riba nasî’ahmaka diperbolehkan.
2.
Kelompok kedua
mengharamkan riba, baik yang besar maupun kecil. Riba dilarang dalam Islam,
baik besar maupun kecil, berlipat ganda atupun tidak. Riba yang berlipat ganda
haram hukumnya karena zatnya, sedang riba kecil tetap haram karena untuk
menutup pintu ke riba yang lebih besar (harâmun lisyadudzari’ah).
c.
Macam-Macam
Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan
menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama riba
utang-piutng terbagi menjadi dua yaitu:
a. Riba qarâdh adalah suatu manfaat yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh) atau utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang
memberi utang.
b. Riba jahîliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si
peminjam tidak dapat membayar pada waktu yang ditentukan.
Sedang kelompok kedua riba jual-beli,
ada dua macam yaitu:
a.
Riba fadl adalah
pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda.
b.
Riba nasî’ahadalah penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribâwi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribâwi lainnya. Riba ini muncul karena adanya perbedaan,
perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan
kemudian.
d.
Larangan
Riba dalam Al-Qur’an dan Hadits
Larangan riba muncul dalam Al-Qur’an pada empat kali
penurunan wahyu yang berbeda-beda:
1. QS.
Ar-Ruum : 39
2.
QS. An-Nisa :
161
“Dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripdanya,dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa
yang pedih. ”Ayat ini diturunkan pada masa permulaan
periode Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba. Pada ayat kedua ini,
Al-Qur’an menyejajarkan orang yang mengambl riba dengan orang yang mengambil
kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa
Allah yang sangat pedih.
3.
QS. Ali Imran :
130
“Hai orang-orang yang beriman,janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda[8], dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”Kurang
lebih ayat ini diturunkan kurang lebih tauk kedua atau ketiga Hijrah,
menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan
yang diinginkan.
4.
QS.
Al-Baqarah : 275-280
“275. Orang-orang yang makan dan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,kemudian berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu, (sebelum datang
larangan); dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali( mengambil
riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
“276. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai orang yang tetap dalam kekafiran,
dan selalu berbuat dosa.”
“277. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.”
“278. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman.”
“279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
“280. Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah kelapangan sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.”Ayat ini diturunkan
menjelang selesainya misi Rasulullh saw., mengutuk keras mereka yang mengambil
riba, menjelaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menurut
kaum muslimin agar menghapuskan seluruh utang-piutang yang mengandung riba,
Menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlasan kepada
peminjam yang mengalami kesulitan.
Adapun larangan riba dalam hadits :
1.
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan
–di antaranya– memakanriba.”[9]
2.
ءعَلَيْهِوَسَلَّمَآكِلَالرِّباَوَمُوْكِلَهُوَكَاتِبَهُوَشَاهِدَيْهِ,
وَقَالَ:
هُمْسَوَالَعَنَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُ
“Rasulullah saw melaknat orang memakanriba, yang
memberimakanriba, penulisnya, dandua orang saksinya. Beliabersabda;
Merekasemuasama”.[10]
2.
Riba
dalam Perspektif Ekonomi Islam
Islam sangat melarang keras riba dalam praktek
ekonomi. Salah satu dasar pemikiran utama yang paling sering dikemukakan oleh para
cendekiawan muslim adalah keberadaan riba dalam ekonomi merupakan bentuk
eksploitasi sosial dan ekonomi, yang merusk inti ajaran Islam tentang keadiln
sosial. Oleh karena itu penghapusan riba dari sistem ekonomi Islam ditujukan
untuk memberikan keadilan ekonomi dan perilaku ekonomi yang benar secara etis
dan moral.
Dasar pemikiran dari mengapa Al-Qur’an mewahyukan
ayt yang tegas mmelarang riba adalah karena Islam menentang setiap bentuk
eksploitasi dan mendukung sistem ekonomi yang bertujuan mengamankan sosioekonomi yang luas. Karena itu Islam mengutuk semua
bentuk eksploitasi, khususnya ketidakadilan yakni dimana pemberi pinjaman
dijamin mendapatkn pengembalian positif
tanpa mempertimbangkan pembagian risiko dengan peminjam, atau dengan
kata lain peminjam menanggung semua jenis risiko.Dengan pertimbangan bahwa
kekayaan yang dimilliki oleh individu sebenarnya merupkan amanah dari Allah
swt. sebagaimana kehidupan seseorang, maka amanah kekayaan merupakan hal yang
sakral.[11]
Al-Qur’an dengan tegas dan jelas melarang akuisisi
terhadap milik orang lain dengan cara yang tidak benar.[12]
Isalam mengenal dua tipe hak milik :
b. Hak
milik yang merupakan hasil kombinasi kerja individual dengan sumber daya alam
c. Hak
atau klaim hak milik yang didapat melalui pertukaran, pembayaran yang dalam
Islam disebut sebagai hak orang miskin untuk menggunakan sumber daya yang
menjadi hak mereka (zakat dan infak), bantuan tunai dan warisan.
Uang mempresentasikan klaim tunai pemiliknya kepada
hak milik yang diciptakan oleh aset yang diperoleh melalui poin a dan/atau b.
Akibatnya meminjamkan uang adalah pengalihan hak milik dari pemberi pinjaman
kepada yang meminjam dan yang dapat diklaim untuk dikembalikan adalah yang
berjumlah setara dengan pinjaman tersebut, tidak boleh lebih.
Dalam islam, instrumen keuangan untuk tujuan
perdagangan dan produksi didasarkan atas pembagian risiko dan pembagian
keuntungan sebagai pengembalian atas usaha bisnis dan modal finansial. Pemberi pinjaman
yang meminjamkan uang untuk berdagang dan berproduksi dapat membuat akad untuk
menerima pembagian keuntungan. Dengan melakukan hal tersebut, dia menjadi
bagian dari pemilik modal dan berbagi dalam risiko usaha bukan sebagai
kreditor.
3.
Dampak
dan Hikmah Pelarangan Riba
Banyak pakar muslim yang menyatakan bahwa pelarangan
riba oleh Islam memiliki 2 dimensi :
1. Menghadirkan
akad bisnis dan komersial dengan pembagian risiko yang setara
2. Menganggap
tindakan pemberian pinajaman sebagai tidakan kebajikan dengan alasan untuk
membantu seseorang yang sedang membutuhkan.
Menurut yusuf qardhawi, para ulama telah
menjelaskan panjang lebar hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara
lain :
a. Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang
baik dan bermanfaat bagi manusia, tetapi hanya mengharamkan apa yang sekiranya
dapat membawa kerusakan baik individu maupun masyarakat.
b.
Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang di
peroleh si pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya.
Keuntungannya diperoleh dengan cara memeras tenaga orang lain yang pada
dasarnya lebih lemah dari padanya.
c.
Keharaman riba dapat
membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini mengandung
pesan moral yang sangat tingggi.
d.
Biasanya orang yang
memberi utang adalah orang yang kaya dan orang yang berutang adalah orang
miskin. Mengambil kelebihan utanag dari orang yang miskin sangat bertentangan
dengan sifat rahmah Allah swt. Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan
sosial.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologis (bahasa), riba berarti tambahan (ziyâdah) atau berarti tumbuh dan
membesar.Adapun menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan
penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan
syara’, atau terlambat menerimanya.parapakarekonomimemahamilebihbanyaklagibahayaribamengikutiperkembanganpraktik-praktikekonomi.
Di antaranyaadalah: buruknyadistribusikekayaan, kehancuransumber-sumberekonomi,
lemahnyaperkembanganekonomi, pengangguran, dan lain-lain.
Riba memiliki jenis-jenis, diantaranya adalah ribâ karâdh, ribâ jahiliyah, ribâ nasî’ah dan
ribâ fadll dan masing-masing dari
semuanya memiliki perbedaan tersendiri.Riba merupakan sebuah praktek yang
diharamkan sejak zaman Rasulullah saw, baik larangan itu secara tegas dalam
Al-Qur’an maupun hadis. Riba merupakan dosa besar harus dihinari karena
berpengaruh pada kehidupan manusia terlebih lagi dalam masalah ekonomi.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maududi,
Abul A’la, Bicara Tentang Bunga dan Riba,
Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.
Chapra,
M. Umer, Sistem Moneter Islam, Jakarta:
Gema Insani Press, 2000.
Iqbal,
Zamir, Pengantar Keuangan Islam: Teori
dan Praktik, Jakarta: Kencana, 2008.
Muslim,
Muslihun, Fiqih Ekonomi, Mataram: Lembaga
Kajian Islam dan Masyarakat (LKIM) IAIN Mataram, 2005.
Suhendi,
Hendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002.
[1]Muhammad
‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Mustalahuh (Bairut: Dar al-Fikr, 1989),
hal. 46-50
[2]Fathi al-Daraini, al-Fiqh al-Islâm al-Muqarin ma’a al-Mazâhib (Dimasyqa:
Jami’ah Dimasyqa, 1979). Hlm. 49-54.
[3]Muhammad bin Muhammad AbiSyahbah, Hulûl li Musykilât al-Ribâ,
(Kairo:Maktabah al-Sunnah,1996/1416), hlm. 40.
[4]Lihat QS. Al-Hajj
: 5
[5] HR. Muslim
[8]Lihatselanjutnya
QS. Al-Baqarah : 275.
[9] HR. Bukhori
[10] HR. Muslim
[11]MenurutsalahsatusabdaRasulullahsaw.,
“Kekayaanseseorangadalahsamasucinyadengandarahseseorang. ”
[12]Lihat QS.2 :
188, 4 : 29, 4 : 161 dan 9 : 34.
Ashiapp
BalasHapus