Selasa, 31 Januari 2017

MAKALAH RIBA DALAM PANDANGAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Melakukan kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rezeki, dan dengan rezeki itu dia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang  Islam, al-Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang absolut. Sunnah Rasulullah saw berfungsi menjelaskan kandungan al-Qur’an.[1]Terdapat banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang merangsang manusia untuk rajin bekerja dan mencela orang menjadi pemalas.Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh al-Qur’an. Apabila kegiatan itu memiliki watak yang merugikan banayak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang, seperti monopoli, calo, perjudian dan riba, pasti akan ditolak.
Riba sebagai persoalan pokok dalam makalah ini, disebutkan dalam Al-Qur’an dibeberapa tempat secara berkelompok.Dari ayat-ayat tersebut para ‘ulama’ membuat rumusan riba, dan dari rumusan itu kegiatan ekonomi diidentifikasi dapat dimasukkan kedalam kategori riba atau tidak. Dalam menetapkan hukum, para ‘ulama’ biasanya mengambil langkah yang dalam Ushul Fiqh dikenal dengan ta’lil (mencari ‘illat). Hukum suatu peristiwa atau keadaan itu sama dengan hukum peristiwa atau keadaan lain yang disebut oleh nash  apabila sama ‘illat-nya.[2]
Kendati riba dalam Al-Qur’an dan hadis secara tegas dihukumi haram, tetapi karena tidak diberikan batasan yang jelas, sementara masalah ini sangat dekat dengan aktivitas ekonomi masyarakat sejak dulu hingga kini, hal ini menimbulkan beragam interpretasi terhadapnya. Sejak masa awal, persoalan riba telah dipandang sebagai salah satu permasalah agama yang paling pelik. Sampai-sampai Umar ibn Khattab dikabarkan menyatakan : “Ada tiga perkara yang sangat aku sukai seandainya Rasulullah meninggalkan wasiat untuk kita, yakni persoalan pewarisan kakek (datuk), kalâlah, dan persoalan riba, sayangRasulullah telah meninggal sebelum beliau menerangkannya. Oleh karena itu, tinggalkanlah ribâ dan ribah (hal-hal yang meragukan).”



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Landasan Syar’i
a.      Pengertian
Secara etimologis (bahasa), riba berarti tambahan (ziyâdah) atau berarti tumbuh dan membesar.[3]Adapun menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya.Adapun menurut istilah syariat para fuqahâ sangat beragam dalam mendefinisikannya, diantaranya aitu :
1.      Menurut Al-Mali riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui tmbangannya menurut ukuran syara’ ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukarana kedua belah pihak atau salah satu keduanya.
2.      Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.
3.      Syaikh Muhammad Abduh berendapat riba adalah penambahan-penambahan yang disayaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
 Dalam Al-Qur’an dan hadits disebutkan :
A
Artinya : “Kemudian apabila kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.”[4]Maknanya disini adalah bergerak untuk tumbuh dan berkembang.

اَلذَّ هَبُ بِا لذَّ هَبِ وَ زْ نًا بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَاْلفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ
مِثْلاًبِمِثْلٍ فَمَنْ زَا دَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
Artinya: Rasulullah saw. bersabda: “Emas dengan emas sama timbangan dan ukurannya, perak dengan perak sama timbangan dan ukurannya. Barang siapa yang meminta tambah maka termasuk riba.”[5]
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa apabila tukar-menukar emas atau perak maka harus sama ukuran dan timbangannya, jika tidak sama maka termasuk riba. Dari situ dapat dipahami bahwa riba adalah ziyâdah atau tambahan. Akan tetapi tidak semua tambahan adalah riba.Dalam istilah fiqh, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok secara bathil baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam.
b.      Pandangan Para Pakar Mengenai Riba
parapakarekonomimemahamilebihbanyaklagibahayaribamengikutiperkembanganpraktik-praktikekonomi. Di antaranyaadalah: buruknyadistribusikekayaan, kehancuransumber-sumberekonomi, lemahnyaperkembanganekonomi, pengangguran, dan lain-lain.
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram[6] dan termasuk dosa besar. Keadaan seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu. Mohammad  Ali al-Saayis di dalam Tafsiir  Ayat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini  (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama   al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan  berdasarkan hadits shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[7]
Secara garis besar pandangan tentang hukum riba ada dua kelompok, yaitu:
1.      Kelompok pertama mengharamkan riba yang berlipat ganda/ad’âfan mudhâ’afa, karena yang diharamkan al-Qur’an adalah riba yang berlipat ganda saja, yakni riba nas’ah, terbukti juga dengan hadis tidak ada riba kecuali nasî’ah. Karenanya, selain riba nasî’ahmaka diperbolehkan.
2.      Kelompok kedua mengharamkan riba, baik yang besar maupun kecil. Riba dilarang dalam Islam, baik besar maupun kecil, berlipat ganda atupun tidak. Riba yang berlipat ganda haram hukumnya karena zatnya, sedang riba kecil tetap haram karena untuk menutup pintu ke riba yang lebih besar (harâmun lisyadudzari’ah).
c.       Macam-Macam Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama riba utang-piutng terbagi menjadi dua yaitu:
a.       Riba qarâdh adalah suatu manfaat yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh) atau utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi utang.
b.      Riba jahîliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak dapat membayar pada waktu yang ditentukan.
Sedang kelompok kedua riba jual-beli, ada dua macam yaitu:
a.       Riba fadl adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda.
b.      Riba nasî’ahadalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribâwi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribâwi lainnya. Riba ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
d.      Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Hadits
Larangan riba muncul dalam Al-Qur’an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda:
1.      QS. Ar-Ruum : 39

H””Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) tulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). ”Ayat ini diturunkan di Makkah, menegaskan bahwa riba akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda.
2.      QS. An-Nisa : 161
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripdanya,dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. ”Ayat ini diturunkan pada masa permulaan periode Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba. Pada ayat kedua ini, Al-Qur’an menyejajarkan orang yang mengambl riba dengan orang yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa Allah yang sangat pedih.
3.      QS. Ali Imran : 130

“Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[8], dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”Kurang lebih ayat ini diturunkan kurang lebih tauk kedua atau ketiga Hijrah, menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan.
4.      QS. Al-Baqarah : 275-280



275. Orang-orang yang makan dan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,kemudian berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu, (sebelum datang larangan); dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali( mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
“276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
“277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
“278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
“279. Maka  jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
“280. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah kelapangan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”Ayat ini diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullh saw., mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menjelaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menurut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh utang-piutang yang mengandung riba, Menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlasan kepada peminjam yang mengalami kesulitan.
Adapun larangan riba dalam hadits :
1.                                                                                                 اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan –di antaranya– memakanriba.”[9]
2.             ءعَلَيْهِوَسَلَّمَآكِلَالرِّباَوَمُوْكِلَهُوَكَاتِبَهُوَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْسَوَالَعَنَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُ
“Rasulullah saw melaknat orang memakanriba, yang memberimakanriba, penulisnya, dandua orang saksinya. Beliabersabda; Merekasemuasama”.[10]
2.      Riba dalam Perspektif  Ekonomi Islam
Islam sangat melarang keras riba dalam praktek ekonomi. Salah satu dasar pemikiran utama yang paling sering dikemukakan oleh para cendekiawan muslim adalah keberadaan riba dalam ekonomi merupakan bentuk eksploitasi sosial dan ekonomi, yang merusk inti ajaran Islam tentang keadiln sosial. Oleh karena itu penghapusan riba dari sistem ekonomi Islam ditujukan untuk memberikan keadilan ekonomi dan perilaku ekonomi yang benar secara etis dan moral.
Dasar pemikiran dari mengapa Al-Qur’an mewahyukan ayt yang tegas mmelarang riba adalah karena Islam menentang setiap bentuk eksploitasi dan mendukung sistem ekonomi yang bertujuan mengamankan sosioekonomi  yang luas. Karena itu Islam mengutuk semua bentuk eksploitasi, khususnya ketidakadilan yakni dimana pemberi pinjaman dijamin mendapatkn pengembalian positif  tanpa mempertimbangkan pembagian risiko dengan peminjam, atau dengan kata lain peminjam menanggung semua jenis risiko.Dengan pertimbangan bahwa kekayaan yang dimilliki oleh individu sebenarnya merupkan amanah dari Allah swt. sebagaimana kehidupan seseorang, maka amanah kekayaan merupakan hal yang sakral.[11]
Al-Qur’an dengan tegas dan jelas melarang akuisisi terhadap milik orang lain dengan cara yang tidak benar.[12] Isalam mengenal dua tipe hak milik :
b.      Hak milik yang merupakan hasil kombinasi kerja individual dengan sumber daya alam
c.       Hak atau klaim hak milik yang didapat melalui pertukaran, pembayaran yang dalam Islam disebut sebagai hak orang miskin untuk menggunakan sumber daya yang menjadi hak mereka (zakat dan infak), bantuan tunai dan warisan.
Uang mempresentasikan klaim tunai pemiliknya kepada hak milik yang diciptakan oleh aset yang diperoleh melalui poin a dan/atau b. Akibatnya meminjamkan uang adalah pengalihan hak milik dari pemberi pinjaman kepada yang meminjam dan yang dapat diklaim untuk dikembalikan adalah yang berjumlah setara dengan pinjaman tersebut, tidak boleh lebih.
Dalam islam, instrumen keuangan untuk tujuan perdagangan dan produksi didasarkan atas pembagian risiko dan pembagian keuntungan sebagai pengembalian atas usaha bisnis dan modal finansial. Pemberi pinjaman yang meminjamkan uang untuk berdagang dan berproduksi dapat membuat akad untuk menerima pembagian keuntungan. Dengan melakukan hal tersebut, dia menjadi bagian dari pemilik modal dan berbagi dalam risiko usaha bukan sebagai kreditor.



3.      Dampak dan Hikmah Pelarangan Riba
Banyak pakar muslim yang menyatakan bahwa pelarangan riba oleh Islam memiliki 2 dimensi :
1.      Menghadirkan akad bisnis dan komersial dengan pembagian risiko yang setara
2.      Menganggap tindakan pemberian pinajaman sebagai tidakan kebajikan dengan alasan untuk membantu seseorang yang sedang membutuhkan.
Menurut yusuf qardhawi, para ulama telah menjelaskan panjang lebar hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain :
a.       Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, tetapi hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat membawa kerusakan baik individu maupun masyarakat.
b.      Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang di peroleh si pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya. Keuntungannya diperoleh dengan cara memeras tenaga orang lain yang pada dasarnya lebih lemah dari padanya.
c.       Keharaman riba dapat membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini mengandung pesan moral yang sangat tingggi.
d.      Biasanya orang yang memberi utang adalah orang yang kaya dan orang yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utanag dari orang yang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahmah Allah swt. Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara etimologis (bahasa), riba berarti tambahan (ziyâdah) atau berarti tumbuh dan membesar.Adapun menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya.parapakarekonomimemahamilebihbanyaklagibahayaribamengikutiperkembanganpraktik-praktikekonomi. Di antaranyaadalah: buruknyadistribusikekayaan, kehancuransumber-sumberekonomi, lemahnyaperkembanganekonomi, pengangguran, dan lain-lain.
Riba memiliki jenis-jenis, diantaranya adalah ribâ karâdh, ribâ jahiliyah, ribâ nasî’ah dan ribâ fadll dan masing-masing dari semuanya memiliki perbedaan tersendiri.Riba merupakan sebuah praktek yang diharamkan sejak zaman Rasulullah saw, baik larangan itu secara tegas dalam Al-Qur’an maupun hadis. Riba merupakan dosa besar harus dihinari karena berpengaruh pada kehidupan manusia terlebih lagi dalam masalah ekonomi.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Maududi, Abul A’la, Bicara Tentang Bunga dan Riba, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.

Chapra, M. Umer, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Iqbal, Zamir, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik, Jakarta: Kencana, 2008.

Muslim, Muslihun, Fiqih Ekonomi, Mataram: Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKIM) IAIN Mataram, 2005.

Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.



[1]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Mustalahuh (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), hal. 46-50
[2]Fathi al-Daraini, al-Fiqh al-Islâm al-Muqarin ma’a al-Mazâhib (Dimasyqa: Jami’ah Dimasyqa, 1979). Hlm. 49-54.

[3]Muhammad bin Muhammad AbiSyahbah, Hulûl li Musykilât al-Ribâ, (Kairo:Maktabah al-Sunnah,1996/1416), hlm. 40.
[4]Lihat QS. Al-Hajj : 5
[5] HR. Muslim
[6]Imam Nawawiy di dalamSyarhShahih Muslim
[7]http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-fiqih-tentang-riba-dan-perbankan.html.
[8]Lihatselanjutnya QS. Al-Baqarah : 275.
[9] HR. Bukhori
[10] HR. Muslim
[11]MenurutsalahsatusabdaRasulullahsaw., “Kekayaanseseorangadalahsamasucinyadengandarahseseorang. ”
[12]Lihat QS.2 : 188, 4 : 29, 4 : 161 dan 9 : 34.

1 komentar: